MENYOAL TREN PERNIKAHAN DINI





Oleh: Neti Isroin (Ibu Rumah Tangga dan Aktif di Muslimah Hizbut Tahrir DPD 2 Tulungagung, Jatim)


Baru-baru ini marak adanya gerakan menolak pernikahan dini di beberapa daerah, sebagai contoh di daerah Wonosari, beberapa waktu yang lalu seluruh dukuh di daerah ini mengadakan deklarasi “bebas pernikahan dini”. Deklarasi ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah maraknya pernikahan dini di wilayah Wonosari yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup drastis. Pengadilan Agama Wonosari menyebutkan data pengajuan dispensasi menikah di usia dini tahun 2014 sampai bulan Mei mencapai 49, padahal tahun 2013 masih 7 pasangan yang mengajukan. Sebagian besar pengajuan dispensasi menikah dini tersebut disebabkan karena hamil duluan. Namun secara umum deklarasi tersebut diadakan lantaran adanya kekhawatiran akan munculnya berbagai dampak buruk yang menimpa pasangan yang melakukan pernikahan dini, baik secara fisik maupun psikis. Bahkan sebagian kalangan menyebutkan pernikahan dini dapat meningkatkan AKI (Angka Kematian Ibu). Hal ini dikarenakan organ reproduksi wanita yang masih muda belum siap untuk proses kehamilan, sehingga jika terjadi kehamilan akan bisa memunculkan resiko yang buruk pada ibu (bisa menyebabkan kematian) maupun bayinya (bisa lahir premature maupun cacat). Secara psikis pasangan muda pun belum matang untuk dapat menjalani kehidupan rumah tangga sehingga rentan berujung pada perceraian. Selain itu menikah dini juga berarti akan mengorbankan pendidikan para pasangan muda karena mereka harus disibukkan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Inilah beberapa alasan mengapa menikah dini ditolak.
Fenomena menikah dini sebenarnya telah meluas di berbagai daerah di negeri ini. Namun melihat latar belakang para remaja menikah dini yang sebagian besar karena faktor hamil dulu maka hal ini yang harus kita cermati. Jangan sampai kita memberikan solusi yang tidak menyentuh pada akar permasalahan. Menolak pernikahan dini dengan alasan akan menimbulkan dampak buruk pada pasangan muda baik secara fisik maupun psikis mungkin ada benarnya meskipun tidak seratus persen benar semua. Fakta AKI dari kalangan yang menikah dini hanya 2,6% di Indonesia, artinya mayoritas berasal dari kalangan yang menikah di usia dewasa. Selain peningkatan AKI inipun juga tidak bisa dilepaskan dari sistem penanganan kelahiran yang bisa dibilang belum bagus dan memadai. Dampak psikis juga berkaitan dengan sistem pendidikan yang ada. Seandainya sistem pendidikan yang ada saat ini bisa mencetak dan menyiapkan generasi yang matang dan berkualitas di usia yang masih muda maka meski mereka ingin menikah di usia dini pun tidak akan menimbulkan dampak yang berarti. Sehingga dari sini sebenarnya persoalan utamanya bukan pernikahan dini itu sendiri melainkan latar belakang para remaja melakukan pernikahan dini, dimana faktor telah hamil duluan menjadi “tren” saat ini.
Inilah seharusnya yang mesti dicermati oleh semua kalangan utamanya pemerintah. Di dalam UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 mencantumkan usia minimum perkawinan untuk perempuan 16 tahun, bahkan ada desakan untuk merevisi pasal ini guna menaikkan usia perkawinan menjadi 18 tahun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Disadari atau tidak inilah bentuk ketidakadilan terhadap para remaja di negeri ini. Bagaimana tidak, di satu sisi hamper setiap waktu mereka terus dihujani dengan paparan pornografi dan pornoaksi di berbagai media yang dapat merangsang gejolak seksual mereka secara terus menerus. Sementara disisi lain mereka dibelenggu untuk mendapatkan hak menyalurkan gejolak ini dengan cara dibolehkan oleh Allah SWT, yaitu melalui perkawinan. Jadi pembatasan usia perkawinan sesuai yang tercantum di dalam UU merupakan salah satu bentuk belenggu terhadap hak para remaja tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian seks bebas dikalangan remaja semakin marak terjadi. Menurut Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, dr. Julianto Witjaksono SpOG, KFER, MGO, bahwa sekitar 46 persen remaja berusia 15-19 tahun belum menikah sudah berhubungan seksual. Lebih mengejutkan lagi ungkapan Ketua PB GRI Dr Sulistyo MPd yang mengatakan, Bahkan dari data Riskesdas 2010 disebutkan, 0,5 persen perempuan dan 0,1 persen laki-laki pertama kali berhubungan seksual di usia 8 tahun! (bkkbn, 9/8/2014). Apakah kita akan terus membiarkan mereka melakukan kemaksiatan zina paling tidak sampai mereka bisa menikah secara legal ketika sudah cukup umur 18th ?
Jadi jelaslah bahwa akar persoalan maraknya pernikahan dini saat ini adalah akibat pergaulan bebas yang merupakan buah diterapkannya sistem demokrasi yang sangat “mengagungkan kebebasan”. Menolak pernikaha dini namun tanpa menyelesaikan akar persoalan ini akan sia-sia saja. Fenomena ini akan terus terjadi tanpa bisa dicegah.
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan memiliki seperangkat aturan yang solutif untuk mengatasi persoalan ini. Naluri seksual adalah salah satu naluri yang diberikan Allah SWT dan menyatu dengan proses penciptaan manusia. Semua manusia dianugerahi naluri ini. Karenanya, Allah SWT memberikan paket aturan untuk mengelola naluri ini supaya kemunculan pada waktu dan tempat yang tepat dan penyalurannya berada dalam koridor hukum syara’. Beberapa aturan tersebut diantaranya adalah: pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (infishol), keduanya hanya boleh berinteraksi dalam perkara yang dibolehkan syara’ seperti jual beli, ijarah, dan perwakilan, berikutnya keharaman khalwat, lakilaki dan perempuan tidak boleh berdua-duaan kecuali disertai mahramnya. \Penentuan batas aurat lakilaki dan perempuan, perintah menundukkan pandangan adalah menahan pandangan dari apa yang diharamkan dan membatasi pandangan kepada apa yang dihalalkan saja. Berkutnya adalah anjuran Islam untuk melakukan pernikahan.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, ia menuturkan : Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah Ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.”(Muttafaq ‘alayhi)
Paket aturan tersebut merupakan upaya penjagaan dan pencegahan terjadinya penyaluran naluri seks dengan cara yang diharamkan seperti perkosaan, perzinahan, dan penyimpangan seks (lesbian, homoseks, dll). Walhasil hanya sistem Islamlah yang mampu menyelesaikan semua persoalan manusia secara tuntas tanpa menuai masalah, dan ini hanya bisa apabila sistem yang agung ini diterapkan secara manyeluruh di dalam kehidupan. Wallaohu’alam bi showab.

0 komentar:

Posting Komentar