RI Ditantang Untuk Menolak Perjanjian WTO

RI Ditantang, Berani Nggak Menolak Perjanjian WTO

Jakarta--Hasil pertemuan World Trade Organization (WTO) yang digelar di Bali, Desember 2013, dituding telah mengorbankan kepentingan petani di negara-negara berkembang. Kalangan aktivis berharap, pemerintah
bisa meniru sikap India yang menolak menandatangani salah satu keputusan tersebut.

Manager Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, keberanian India menolak kesepakatan perundingan WTO di Bali layak untuk ditiru Indonesia. Dia memuji sikap pemerintah India yang tegas memperjuangkan subsidi bagi sektor pertanianya.

“Persoalan sektor pangan sebagai persoalan prioritas yang harus diselesaikan, akibat Indonesia tidak mengambil posisi strategis dalam perundingan WTO di Bali tahun lalu. Sekarang Indonesia malah ketergantungan pada impor pangan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Rachmi menuturkan, di tengah melonjaknya impor pangan selama dua tahun terakhir, angka kemiskinan pada rumah tangga petani meningkat tajam.

“Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menurun. Sementara tingkat pengangguran meningkat. Hingga saat ini persoalan pangan juga belum mampu diselesaikan oleh pemerintah,” keluhnya.

Dia melihat, hal ini terjadi karena subsidi pertanian diganti dengan kesepakatan trade facilitation, di mana setiap negara harus membuka pintu lebar-lebar untuk arus barang dan jasa.

“Akibatnya, pembukaan pintu impor pangan akan semakin tinggi. Jika proses karantina di pelabuhan dan bandara dipercepat, maka keran impor semakin terbuka lebar,” kata Rachmi.

Dia menilai, pemerintah gagal dalam membantu petani miskin yang bertanam di lahan sempit.

“Kami meminta pemerintah lakukan revisi kebijakan dan memberikan subsidi pangan. Meski waktu pemerintahan Presiden SBY tinggal sedikit, dia harus meletakkan persoalan pertanian agar ini tetap jadi prioritas bagi pemerintahan berikutnya. Pemerintahan berikutnya harus selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas perundingan-perundingan internasional,” tandasnya.

Aktivis Yayasan Bina Desa Achmad Yakub menyebutkan, sejak Indonesia menjadi anggota WTO pada 1994, sektor pertanian di Tanah Air terus terdegradasi.

“Selama 10 tahun terakhir, orang yang bekerja di sektor pertanian berkurang. Urbanisasi dan jumlah buruh migran meningkat. Sementara sektor perkebunan diarahkan untuk melayani negara-negara kaya,” ujarnya.

Menurut Yakub, jangan sampai Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara-negara kaya. “Ini sangat membahayakan karena akan memperbesar impor pangan. Sekarang saja Indonesia harus mengimpor gandum, garam, kentang, hingga singkong,” beber Yakub.

Yakub berharap, Indonesia bisa mencapai kedaulatan pangan dengan berani menolak perjanjian perdagangan internasional yang merugikan rakyat.

Peneliti dari Genetic Resources Action International (GRAIN) Asia Kartini Samon menimpali, situasi pasca perundingan WTO di Bali sangat merugikan rakyat Indonesia. “Sektor pertanian hanya untungkan negara-negara kaya dan pasar saham. Sementara saat ini kita kehilangan sumber daya manusia di sektor pertanian,” sebutnya.

Dia melihat, dibukanya batasan impor hingga non tarif akan merugikan petani lokal yang bercocok tanam di lahan sempit  dengan pemanfaatan teknologi yang sangat sederhana.() rmol.co/ syabab indonesia

0 komentar:

Posting Komentar